Jas merah.
Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Kalimat inilah yang selalu terngiang-ngiang dalam benakku seharian ini. Aku yang terduduk di kursi sambil mengamati rintik-rintik hujan yang menempel pada jendela disebelahku. Cuaca kala itu begitu mendung seperti hatiku yang diwarnai ketenangan namun juga terdapat kegundahan disudut hatiku yang paling dalam. Pikiranku pun mulai bekerja.
Korea Utara. Apakah yang terbesit di pikiran kita saat mendengar Korea Utara? Pasti takkan ada habisnya karena kita adalah manusia yang selalu ingin tahu akan segala yang berputar di dalam kehidupan. Apalagi segala sistem pemerintahan dari “The Kims” yang amat asing. Atas dasar itulah, aku memutuskan untuk bertemu dengan orang yang selamat dari kekejian tersebut. Namun, apakah ia bersedia datang menemuiku disini?
Baru saja aku hampir tenggelam dalam pikiranku, tiba-tiba sesosok wanita berjas hitam, datang membawa kopi bertuliskan Starbucks di tangan kanannya. Ia duduk di depanku sambil mengulurkan tangannya dan tersenyum mengatakan, “Maaf, alasan klasik, aku terjebak macet.” Ku sambut tangan mungilnya seraya berkata, “Terima kasih telah datang menemuiku Grace Joo Noona.”
Perjuangan Grace Joo, Pembelot Korea Utara.
Sekilas tidak ada yang berbeda antara Grace Joo dengan mahasiswi lainnya. Namun wanita ini memendam luka yang bersejarah pada kediktatoran brutal di Korea Utara. Grace Joo, sesosok wanita yang berani melangkah keluar dari kekejian Rezim Korea Utara pada tahun 1990-an. Pikiranku sempat dilanda kebingungan, bagaimana caranya menanyakan tentang pengalaman tersebut tanpa mengingatkan kembali akan luka dalam batinnya. Namun akhirnya, ku beranikan diriku untuk bertanya mengenai kisah kehidupannya kala itu. Ia menutup mata sambil tersenyum seakan-akan ia tak kaget mendengar pertanyaan tersebut. “Begini ceritanya,” kata Grace.
Pada kala itu, keluarga Grace Joo masih lengkap dengan ayah, ibu, kakak perempuannya, adik laki-laki, adik perempuan, serta neneknya. Mereka berenam memutuskan untuk keluar dari neraka yang tak tertahankan. Berbekal dengan keinginan besar tersebut, mereka melakukan perjalanan untuk keluar dari Neraka, walaupun pada saat itu, mereka diwarnai ketakutan yang luar biasa.
Kupandang wajahnya, dan dapat kulihat bahwa masih ada ketakutan yang tersirat pada wajahnya. “Grace Joo Noona, seperti apa ketakutan yang Noona alami saat itu?” Sambil mengusap keringat di dahinya, ia berkata, “Ketakutan yang takkan bisa dilukiskan dengan kata-kata.”
Usai mengusap keringat, sambil melipat tangannya, Grace Joo terus mengungkapkan kekejian yang ia lihat di negaranya.
“Tiga kali aku dan keluargaku mencoba untuk lari dari kengerian ini. Setiap kali diriku akan tidur, aku selalu berharap bahwa semua ini adalah mimpi buruk dan esok akan menjadi hari yang menyenangkan bagiku. Namun hal itu takkan pernah terjadi karena inilah kenyataan yang sebenarnya, yang harus diriku hadapi. Hal inilah yang menjadi kekuatan ku selama tiga kali percobaanku untuk lari. Segala hal aku lakukan. Selama berhari-hari kami berjalan kaki, hidup di hutan, dengan hanya memakan jangkrik, buah liar, serta kulit pohon. Ibuku yang tak tega melihat kami anak-anakanya hidup seperti itu, memutuskan untuk menyogok penjaga perbatasan namun kami terangkap dan kembali ke neraka itu.”
Ku tanyakan pertanyaan yang mungkin terkesan bodoh, namun rasa penasaran telah merasuki ku, “Apa yang Noona rasakan pada saat gagal dalam percobaan lari untuk kedua kalinya?” Sejenak ia menghela nafas, lalu kembali menatap mataku dengan tatapan sayu, Ia berkata, “Seperti mau mati rasanya.”
Grace Joo menyeruput kopi di depannya, ia kembali melanjutkan ceritanya.
“Aku tak pernah mengenal cinta. Yang kutahu pada saat itu hanyalah peraturan, peraturan, dan peraturan. Segala hal semuanya diatur oleh mereka penguasa. Kami bagaikan robot yang dikendalikan oleh para penguasa. Sampai suatu saat, pada tahun 2006, seorang penyelamat datang menyelamatkan aku, ibuku, dan adik perempuanku. Dia adalah seorang pendeta Amerika-Korea yang mengenalkan cinta yang sebenarnya kepada kami. Berkat beliau, aku, ibu, dan adikku dapat mencicipi kebebasan. Kini aku dan adikku dapat mendirikan organisasi NKinUSA untuk membantu para pembelot yang ingin melarikan diri dari Korea Utara.”
Kehilangan.
Lega aku mendengarnya. Namun tiba-tiba ada satu pertanyaan yang terbesit di benakku. Dengan hati yang berdebar-debar, aku memberanikan diriku untuk bertanya kepadanya.
“Maaf Noona, namun bagaimana dengan anggota keluargamu yang lain?”
Sontak Grace Joo terkaget mendengar pertanyaanku. Ia mengambil secangkir kopi di depannya, lalu diseruputnya kopi itu sambil menikmati rasa pahit yang tertinggal. Setelah itu, ia menutup matanya sejenak dan kembali menatap mataku dengan tersenyum pahit.
“Mereka tak selamat.”
Ayahnya meninggal dalam kereta karena ketahuan menyeberangi batasan untuk membeli sekantong beras. Nenek serta adik laki-lakinya meninggal karena kelaparan, sementara kakak perempuannya menghilang tanpa jejak. Hanya dirinya dan ibunya sosok yang selamat dari ajang pelarian tersebut.
Mendengar akan hal itu, tanpa sadar air mata mengalir di pipiku. Ku usap pipiku yang basah akan air mata dan kuulurkan tanganku kepadanya dan kuucapkan, “Terima kasih telah berbagi kisah denganku, kau adalah sosok wanita yang sangat inspiratif. Selanjutnya serahkan padaku, akan kupastikan seluruh telinga akan mendengar kisahmu.” Ia menjabat tanganku dan memelukku sambil tersenyum dan berkata, “Terima kasih telah mendengarkan ceritaku,”
Penulis : Gabriel Monic
Editor : Gabriela Priscila
Comments