top of page
Writer's pictureJournal-is-Me

Chance

Pernah mendengar tentang semesta yang selalu mengatur hidup kita? Atau tentang semesta yang sudah menggariskam takdir dengan alasan yang tidak kita ketahui?


Sebuah perasaan yang tidak direncanakan, berubah menjadi sesuatu yang mengakar di dalam diri saat benih-benih asmara memupukkan dirinya di dalam sana. Mata yang pada awalnya selalu memandang datar pada sosok itu, menjadi berbinar kala dirinya hadir dan menyapa. Membuat logika terbuyarkan oleh sebuah halusinasi indah yang memblokir semua kenyataan untuk merasuk ke dalam pikiran kita. Memblokir berbagai aktivitas yang harus dilakukan karena tergantikan oleh waktu untuk menikmati keindahan yang ada. Cinta itu indah. Tentang bagaimana cinta tersebut akan berakhir, semua kembali ke pada diri masing-masing. Pada keputusan yang dipilih. Karena apa? Tidak semua lisan dapat menyampaikan sebuah perasaan yang berada di dalam relung hati. Merasa sakit? Tentu. Namun, itulah kenyataannya. Savira Cathlea menghela napas pelan setelah memikirkan seluruh kata-kata yang hendak ia gunakan untuk mengisi bagian kosong pada Dinding Kreatif Kampus yang diminta oleh tim redaksi padanya dua hari lalu. Aksa gelapnya yang sedari tadi terdiam gamang pada pemandangan dari lantai 16 di hadapannya, ia arahkan pada langit biru yang seolah sedang berbicara lembut padanya. Langit itu—Vira tidak tahu, apakah ia memikirkan kata-kata puitis itu hanya untuk mengisi majalah dinding, atau memang kata-kata itu terpikirkan olehnya sebagai realisasi dari apa yang sedang ia rasakan sekarang? Lagi-lagi Vira menghela napas panjang. Ia baru berada di dua semester awal, dan dirinya sudah dipusingkan dengan perasaan yang tiba-tiba datang menghampiri tanpa sebuah pemberitahuan. Apa yang harus kulakukan? Vira menggelengkan kepalanya lelah. Ia mulai menggerakkan tangan kanannya untuk menulis kata-kata yang masih bergema di dalam kepalanya. Hanya berusaha menuliskan apapun yang terlintas, itulah yang dilakukannya. Ia harus segera memberikan tulisan yang dibuatnya pada Fera untuk segera dikerjakan menjadi sebuah pajangan pada Dinding Kampus, atau wanita itu akan mengomelinya tanpa henti. Vira tertawa pelan. Fera adalah wanita yang baik, periang, dan selalu terlihat ceria. Wanita itu selalu menebarkan aura positif kemanapun ia pergi.


Vira kembali memandangi langit saat ia menuliskan kata terakhir yang berada di dalam kepalanya. Sejenak memandangi sekitar untuk mencari inspirasi, hingga akhirnya pandangannya jatuh pada sebuah benda kecil di hadapannya. Kunci motor. Milik seorang pria yang sedang dekat dengannya selama dua bulan terakhir karena sebuah ketidaksengajaan, Daniel Elloah namanya. Seorang dosen memasangkan ia dan Daniel sebagai partner di dalam sebuah kerja kelompok yang mengharuskan mereka saling berbincang dan berdiskusi mengenai materi yang diberikan. Cukup sulit mengingat tugas yang diberikan adalah membuat video berdurasi 10 menit dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Perbincangan intens yang terjadi di hari itu, seolah menjadi jalan pembuka bagi keduanya untuk terus berteman akrab hingga sekarang. Daniel masih sering menghubunginya dan meminta Vira menemaninya kemanapun ia pergi. Meski sering menolak ajakkan itu, Daniel seolah tak pernah putus asa menarik hatinya dengan berkunjung ke rumahnya dengan membawakan sesuatu dari tempat yang ia tolak untuk kunjungi. Vira dapat merasakan hatinya menghangat setiap mengingat itu. Sejujurnya, Vira merasa sangat senang karena bisa mendapatkan teman baru. Meski ia sempat takut kejadian buruk di masa lalu kembali terjadi padanya, terjebak di dalam rasa yang tidak tersampaikan adalah hal terburuk yang pernah Vira rasakan. Dan ia tidak ingin hal tersebut kembali terjadi padadirinya. Lalu semua terjadi begitu saja, perasaan itu muncul secara tiba-tiba. Vira tidak dapat mengendalikannya. Aku harap perasaan ini dapat segera memudar... "Vira." Vira tersentak mendengar suara berat yang tiba-tiba memanggil namanya itu. Daniel tertawa samar seraya menempatkan dirinya di sebelah Vira "Gue ngangenin ya? Eh, ngagetin maksudnya." guraunya yang mau tak mau membuat Vira tertawa geli. Untung saja ia berada cukup jauh dari meja utama penjaga perpustakaan, atau ia akan diusir dari tempat ini. "Masih nulis?" Vira mengalihkan pandangannya pada selembar kertas di hadapannya yang sudah hampir penuh terisi "Gak kok, ini udah selesai."


Daniel menyeringai, "Diselesaiin di Bunker aja mau gak? Biasanya kan lu nulis sampe penuh kertasnya."


Vira dapat merasakan wajahnya bersemu merah mendengar itu. Bagaimana mungkin Daniel sudah hapal tentang kebiasannya hanya dalam waktu dua bulan? Ah tidak, Vira yakin ia akan kembali berhalusinasi malam ini.


"Gimana? Mau gak?" Siapa yang akan menolak ajakkan seorang pria tampan dan ramah seperti Daniel?

Vira mengangguk, "Duluan aja turunnya, gue mau—"


"Gak, kita bareng turunnya," sela Daniel cepat dan langsung membereskan beberapa kertas milik Vira lalu memasukkannya ke dalam binder, "gue gamau kita misah, kan mau pergi bareng."

"Tapi,"

"Isi buku tamu dulu, ayo." Daniel meraih kunci motor, dan binder hitam milik Vira sebelum akhirnya melangkah pergi. Meninggalkan Vira yang terdiam mematung karena tindakan yang tidak pernah diterimanya itu.


Sebuah senyum manis yang sedari tadi ditahan Vira, perlahan menguar dengan indah pada wajah manisnya. Ia meraih tas hitam miliknya, sesaat memandangi langit untuk menyampaikan sedikit rasa senang yang membuatnya berbunga-bunga.


Vira sadar, perasaan yang ia punya tak harus selalu disampaikan. Setidaknya ia masih bersyukur karena semesta masih memberinya kesempatan untuk menikmati momen berharga seperti ini. Kesempatan yang membuatnya yakin bahwa awal yang sama tidak akan selalu menciptakan akhir yang sama juga.


Terima kasih karena telah menghadirkannya di dalam hidupku, Semesta…


Penulis: Chintya Krisadelia

Editor: Nikita Angelmay Tombatu

14 views0 comments

Recent Posts

See All

Father

Comments


bottom of page