top of page
Writer's pictureJournal-is-Me

Kita Semua Pejuang


Sumber: shootproof


Menjadi mahasiswa merupakan hal yang menyenangkan sekaligus menyebalkan bagi Andira atau yang akrab disapa dengan Dira, mahasiswa semester 2 yang masih tergolong sebagai mahasiswa baru. Menyenangkan karena bertemu dengan teman-teman baru, melakukan hal-hal yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya, terlebih jurusan yang ia masuki adalah jurusan impiannya sejak SMP- Ilmu Komunikasi. Menyebalkan karena tugas-tugas yang tak kunjung berhenti dan kerap kali menyita waktunya hingga tengah malam.


Hari itu, seperti hari-hari biasanya, Dira kembali menjalani rutinitas seperti mahasiswa pada umumnya. Terbangun karena bunyi alarm yang menusuk telinga, lalu bergegas membasuh tubuhk dengan air, memakai bedak dan sedikit liptint berwarna merah andalannya agar tidak terlihat pucat, dan mengunyah roti sebelum akhirnya Ia memesan ojek secara online.


Semua berjalan seperti biasanya, ia mendengarkan dosen, mengajukan beberapa pertanyaan yang tidak ia ketahui, mencatat, hingga akhirnya sebuah notifikasi pesan dari ibunya mengenai sebuah berita


2 Maret 2020: "Indonesia confirms two coronavirus cases: President Jokowi"


Dira hanya membaca pesan itu dari notifikasi saja, tidak berniat untuk membalasnya karena ia masih fokus dengan penjelasan dosen saat itu. Setelah ia selesai dengan mata kuliahnya itu, ia menghubungi ibunya untuk sekadar memberi tahu bahwa ia akan pulang ke kost-nya karena Dira adalah anak rantau.


“Halo, Ma. Aku baru selesai kuliah.”


“Mbak, itu Mama kirim berita wes dibaca ta?”


“Udah kooook.”


“Hati-hati toh, Mba. Serem loh itu virusnya, beli vitamin, hand sanitizer, sama masker yo.”


“Iyaaa, aku pulang dulu.”


“Yo we, hati-hati.”


“Iya, Maa. Salam buat Papa.”


Setelah selesai, Dira mengingat ucapan Ibu-nya dan langsung menuju minimarket terdekat untuk membeli masker dan vitamin c, namun yang ia tidak mendapatinya dimana pun. Lalu ia berniat untuk mengabaikannya saja karena menurutnya itu hanya ketakutan Ibu-nya semata. Yang tidak ia tahu adalah berita itu merupakan awal dari segalanya dimulai. Awal dari sebuah adaptasi menyeluruh terhadap rutinitasnya itu.


Hari-hari berikutnya Dira jalani seperti biasa, namun yang berbeda ialah setiap masuk ke dalam gedung fakultas, seluruh mahasiswa dan mahasiswa diwajibkan untuk memakai masker dan dilakukan pengecekan suhu. Namun, ia pikir ini hanyalah sebuah bentuk protokol kesehatan saja dan tidak akan berdampak besar. Hingga beberapa minggu kemudian, ia membaca sebuah berita.


Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada Jumat (10/04) selama dua minggu, namun pakar kesehatan menyebut perlu satu bulan untuk menekan penyebaran Covid-19.


Lagi-lagi sebuah hal yang tidak terduga, pikirnya. Akibat dari kasus ini, orang tua Dira khawatir dan menyuruhnya segera kembali sebelum diadakan lockdown agar ia bisa lebih aman jika di rumah, begitu pikir mereka. Tapi Dira menolak. Menurutnya, akan sangat menyulitkan jika ia berada jauh dari tempat kuliah.


Selama berminggu-minggu keadaan tidak terkendali, banyak berita yang memberitakan bagaimana terjadi panick buying di beberapa toko swalayan, entah itu makanan, masker, vitamin, obat-obatan. Parahnya, pemberitaan ini membuat keadaan memburuk. Kasus COVID-19 terus-terusan meningkat dan di sisi lain penyembuhnya tidak kerap ditemukan.


10 kasus.


26 kasus.


50 kasus.


289 kasus.


1000 kasus.


Dira tergolong anak yang tidak peduli terhadap sekitarnya, namun mendengar berita yang terus-terusan dan angka yang terus meningkat juga membuat ia takut. Akhirnya, ia memutuskan untuk swab test di salah satu klinik terdekatnya. Ia menunggu selama seminggu hingga hasil keluar. Tak disangka hasilnya adalah positif.


Kehidupan Dira saat ini sangat membuatnya terpuruk. Jauh dari orang tua, divonis positif COVID-19, dimana artinya dia harus menjaga jarak dan dirawat secara khusus atau yang biasa dikenal dengan karantina. Ia menghabiskan waktunya sendirian. Ia seperti mayat hidup, tidak ada motivasi untuk menjalani kehidupannya saat ini.


Hingga suatu hari ia bertemu seseorang bernama Kek Ndur, salah satu pasien paruh baya dan sedang dirawat karena COVID-19 juga. Kakek itu datang bagai harapan baginya, awal pertemuan mereka adalah ketika para pasien melakukan kegiatan rutin tiap pagi untuk melakukan senam agar tetap bugar dan Kek Ndur menghampirinya yang sedang diam dan melamun.


“Saya boleh duduk di sini, Mbak?” ia menunjuk bangku kosong di sebelahku.


“Hmmm.” Jawab Dira acuh.


Kemudian Kakek itu duduk di sebelah Dira. Hening. Tidak ada suara selama 15 menit, mungkin.


“Gak ikut senam, Mbak?” tanyanya.


“Gak, Kek.” Jawab


“Saya perhatiin Mbak-nya dari minggu lalu diem terus. Gak pingin ikut senam ta? Sehat loh...”


“Percuma, Kek. Ini sakitnya aja gak tau kan gimana sembuhinnya, hahaha.” Ada tawa pahit di balik jawaban Dira.


“Oalah itu toh yang bikin Mbak-nya murung… Tapi saya kalau jadi Mbak-nya bakalan semangat biar sembuh, Mbak. Lihat sekarang saya kalau dihitung-hitung mah hidup gak sampai seberapa lama lagi, Mbak. Hahaha. Eh, tapi itu justru yang bikin saya mau cepet sembuh, Mbak. Pingin main sama cucu saya di rumah, ketemu anak saya, pengen bisa lihat-lihat luar lagi, Mbak.”


Kek Ndur memberi jeda. “Mbak-nya juga, harus dijalanin sampai tuntas. Hidup Mbak masih sangat panjang. Raih cita-cita Mbak… ini, Mbak-nya wes punya bojo belum?” ucapnya bercanda.


“Hidup sing lama, Mbak. Bahagiain orang tua, sing paling penting yo bahagiain diri sendiri.”


Dira terpaku menatap Kek Ndur, tatapannya lurus, namun begitu tulus.


“Yowes, Mbak. Saya lanjut senam dulu, ikut gak?” ucapnya tersenyum.


“Eh, duluan aja, Kek.”


“Yowes, monggo.” Kek Ndur kemudian pergi dan mengikuti gerakan instruktur senam dengan asal-asalan.


Sejak saat itu, entah bagaimana, perkataan Kek Ndur terus-terusan menghantui kepalanya. Ada perbedaan yang dirasakannya. Ia mulai kembali menggiati pelajaran kuliahnya, mulai makan secara lahap, mengikuti senam secara teratur, bahkan ia sempat memotivasi teman-temannya yang merasa terpuruk. Tapi, Dira tidak bisa menemukan Kek Ndur.


Sampai saatnya Dira dinyatakan sembuh dan bisa keluar dari karantina, Ia menanyakan apa Kek Ndur sudah sehat, namun yang jawaban yang ia dapatkan sangat mengejutkan.


“’Kek Ndur? Beliau sudah meninggal dunia karena penyakit paru-paru, Non. Beliau banyak membantu rumah sakit ini, beliau juga salah satu dokter di sini. Sayang karena beliau nanganin COVID-19 dan ada penyakit paru-paru, gak bisa selamat, Non.” Ucap salah satu perawat.


Dira tidak bisa berkata-kata dan yang keluar dari mulutnya hanya, “Oh… makasih, sus.”


Andira tidak tahu akan jadi apa dia hari ini jika dia tidak bertemu dengan Kek Ndur saat itu. Mungkin sekarang Ia tidak bisa berdiri dan bercanda bersama dengan orang tua-nya secara langsung. Mungkin, ia masih berbaring di tempat tidur rumah sakit dan membalut dirinya dengan selimut.


COVID-19 telah merengut banyak nyawa, banyak hal-hal yang harus kita tinggalkan, adaptasi berulang, pembatasan sosial pada makhluk sosial bukanlah hal yang mudah untuk dijalani. Namun, kita tidak sendiri. Kita berada di sini bersama dan kita pasti akan melawannya bersama-sama.


Jangan Lelah untuk berjuang.



Penulis: Nikita Angelmay Tombatu

8 views0 comments

Recent Posts

See All

Father

Comentários


bottom of page