top of page
Writer's pictureJournal-is-Me

Sekali di Udara, Tetap di Udara


Tangerang - “Di radio, aku dengar lagu kesayanganmu,” demikianlah seuntai lirik yang dinyanyikan oleh Soedjarwoto Soemarsono berjudul “Kugadaikan Cintaku”.


Sudah lampau radio diresmikan sebagai alat komunikasi auditif di Indonesia. Menjadi simbol yang diperlukan untuk berinteraksi dan memberikan informasi seputar dunia. Tatkala radio seolah meminta akses jaringan (udara) demi menyaring konteks komunikasi pengguna yang tidak konsisten.


Permulaan ini dimulai dari tahun 1945. Dua puluh empat hari setelah kemerdekaan Bangsa Indonesia.


Pria kelahiran 1 Juli 1909 merupakan aktivis Indonesia yang sangat andal. Beliau bersama delegasi radio Adang Kadarusman, Harto, Maladi Soehardi, Soetarji Hardjolukita, Soemarmadi, dan Sudomomarto berkumpul di bekas Gedung Raad Van Indie Pejambon pada pukul 17.00 WIB. Kedatangan mereka disambut baik oleh Menteri Sekretaris Negara, Abdoel Gaffor Pringgodigdo. Kecintaannya kepada radio membuat jasa Abdulrahman Saleh dikenal sebagai pendiri Radio Republik Indonesia.


Tanggal 11 September 1945 merupakan momentum ketua delegasi radio mengeluarkan tiga dari tujuh rekomendasi kepada pemerintah. Pertama, persatuan Radio Republik Indonesia (RRI) meneruskan penyiaran dari delapan stasiun di Jawa. Kedua, persembahan RRI kepada Presiden Soekarno sebagai alat komunikasi dengan rakyat. Ketiga, hubungan pemerintah dan RRI yang bisa disalurkan melalui Abdulrahman Saleh.


Ikhtisar-ikhtisar yang dikeluarkan berbuah hasil yang sempurna. Para delegasi radio Indonesia berunding dan sepakat untuk mengembangkan radio di negeri Ibu Pertiwi. Hingga pada tanggal 11 September, kita bisa merayakan momen bersejarah berdirinya RRI Hari Radio Nasional. (TH)




Penulis : Tesalonika Hasugian

37 views0 comments

Recent Posts

See All

Comentários


bottom of page