Hari ini langit tidak menentu, tadi pagi cuacanya sangat indah sehingga awan yang berjalan
di langit itu cantik sekali. Tapi, pada pukul tiga sore suasana berubah. Langit redup karena
tertutup awan yang warnanya begitu gelap, bahkan matahari kurang nampak cahayanya.
Sepertinya awan akan menangis sore ini.
"Bulan." Aku yang sejak tadi menatap langit langsung tersentak saat seseorang menyebut
namaku.
"Aku kira kamu udah pulang." Kulirik Awan di sebelahku, sedikit sulit untuk melihat
wajahnya karena tinggi badanku yang bahkan tidak mencapai bahunya.
Aku mengira Awan sudah pulang karena sejak bel sekolah berbunyi Awan sudah menghilang
dari kelas, bahkan sebelum aku bisa melihat punggung laki-laki itu keluar pintu kelas kami.
"Mau makan mie ayam gak?" Awan menawarkan suatu ajakan yang mustahil ditolak olehku.
Bukan hanya karena itu makanan kesukaanku.
"Yuk! sebelum hujan." Aku menarik tangannya menuju parkiran sekolah.
Motornya melaju menuju kedai mie ayam yang sangat terkenal di kalangan anak SMA karena
harganya yang terjangkau. Angin meniup rambut panjangku yang lupa kuikat, dua tanganku
memeluk erat cardigan merah muda yang kupakai guna menahan jahatnya dingin yang
menusuk kulitku.
"Lan, ngebut dikit oke gak? takut keburu hujan," Tanya Awan sedikit berteriak.
"Iyaa!" Saat itu juga motornya melaju lebih cepat membelah angin.
Sesuai dugaan kami bahwa kedai mie ayam ini sangat ramai terlebih saat cuacanya seperti
ini, tapi beruntung karena masih tersisa satu meja untuk kami berdua.
"Pesen-"
"Dua porsi mie ayam spesial gak pakai taoge, yang satu pakai pangsit rebus dan satunya
pakai pangsit goreng, minumnya es teh manis satu dan..." Awan berhenti sejenak melirik
botol minum kosong milikku, "Satu air mineral dingin."
Hebat. Mie ayam tanpa taoge dan pakai pangsit rebus, tidak ketinggalan minuman andalanku
air mineral dingin. Awan pesankan sempurna sesuai keinginanku bahkan sebelum aku
mengucapkannya.
"Hahaha keren!" Sorakku memberi apresiasi kepada Awan yang selalu ingat bagaimana
pesanan mie ayam milikku.
"Gue jahat kalau masih gak ingat." Setelah itu kami berdua tertawa.
-----
Suasana hening saat kami menyantap mie ayam yang menggugah selera, ya aku paham ini
adalah etiket saat makan. Namun, tetap saja tidak biasanya kami banyak diam seperti ini.
"Akhirnya awan nangis juga," Ucapku tiba-tiba.
"Hah?" Ia melirikku bingung.
Jariku menunjuk ke belakang Awan yang menunjukkan jalanan sedang terguyur hujan deras.
Awan menoleh dan ia baru sadar bahwa sedari tadi hujannya cukup deras.
"Kamu kenapa Wan?" Tanyaku menarik kembali perhatiannya untuk tertuju padaku.
"Besok pulang sekolah mau temenin gue nonton gak? gue ada dua tiket."
"Kamu belum jawab pertanyaanku loh," Ucapku mengingatkan sekali lagi.
"Gue... Mentari tiba-tiba batalin janjinya. Gue tadi mau makan bakso sama dia, besok juga
mau nonton tapi dia batalin gitu aja. Gue–" Awan bercerita dengan wajah yang sangat
murung. Awan bercerita sangat detail namun telingaku sudah tidak dapat mendengarnya lagi,
pikiranku berhenti fokus tepat saat dia menyebut nama "Mentari". Seorang adik kelas yang
berada satu organisasi dengan Awan, tampaknya Awan sedang jatuh hati kepada gadis itu.
Menyesal.
Aku sungguh menyesal, bukan karena menerima ajakannya tetapi aku menyesal karena
bertanya. Jadi ini alasan langit tiba-tiba redup dan awannya menangis deras, ini alasan Awan
yang cepat-cepat keluar kelas tadi.Tidak, kamu tidak jahat jika tidak ingat menu kesukaanku
tapi kamu jahat karena membuatku menjadi opsi kedua.
"Hey!" Aku tersentak saat petikan jarinya berada di depan wajahku. "Mau gak besok?"
Tanyanya sekali lagi.
"Mauuu." Aku mengangguk dengan semangat, di pikiranku hanya “Yang penting sama
Awan.”
Entahlah, Awan yang jahat atau Bulan yang telalu naif. Apakah memang benar awan hanya
indah saat bersama matahari? Bagaimana dengan awan malam yang sedang bersama bulan?
Bukankah indah juga? walaupun awan malam kurang terlihat dari bumi sih…
Now playing ‘Backburner’ by Niki
Penulis: Aurelia Mischa A.
Editor: Clarissa Putri Pangestu
Comentários