top of page

Berbahagialah, Wahai Yang Kurindukan



Perasaan bersalah itu tidak pernah hilang bahkan setelah tahun-tahun berlalu. Bahkan ketika saya dan kamu tidak pernah saling menyapa lagi. Bahkan ketika saya dan kamu tidak lagi berbicara. Bahkan ketika kamu—mungkin—sudah melupakan saya di setiap langkahmu.


Saya tetap punya ruang di hati untuk kamu. Bukan untuk menyayangi seperti dulu, tetapi untuk meratapi segala kesalahan yang pernah saya buat. Saya masih menangis, kadang. Saya masih menanti sebuah maaf yang tak pernah saya ajukan pada kamu.


Di suatu malam, pernah saya menangis hanya karena mengingat potongan-potongan kenangan yang nyaris hangus bersamaan dengan waktu yang terus berjalan. Saya merasa hidup telah berhenti ketika kamu dan saya sudah tidak lagi satu tujuan, ketika harapan yang saya dan kamu buat sudah terlupakan nyaris tak teringat.


Saya rindu memanggil nama kamu dengan lantang, mengucapkan selamat ulang tahun dengan rentetan doa panjang, bertukar tawa yang menyenangkan, saya rindu pada sekecil apa pun hal yang pernah kita lakukan bersama.


Maafkan saya. Tolong maafkan saya.


Di setiap langkah yang saya pijak sekarang, tidak lagi ada rasa bahagia yang benar-benar bahagia. Ada sesuatu yang tertahan dan dulu saya bertanya apa sebabnya. Kini saya tahu, itu adalah perasaan bersalah saya pada kamu yang tak kunjung tuntas.


Kadang saya berpikir, barangkali perasaan ini terus hadir karena kamu masih mengingat saya dengan sejuta kesalahan yang pernah saya buat. Barangkali kamu pernah menyebut nama saya bukan untuk mendoakan tetapi untuk mengutuk betapa saya telah menyakiti hatimu lebih dari goresan luka. Namun, saat otak saya telah kembali duduk sempurna, saya sadar tidak mungkin kamu melakukan hal yang tidak baik.


Sebab, kamu selalu baik.

Terlampau baik bahkan pada saat saya telah menyakitimu.


Berbahagialah, wahai yang kurindukan.

Penulis: Hasita Ariya Visakha Editor: Achmad Fauzi

Sumber Foto: Pinterest

Comentarios


© 2024 by JournalisMe. Proudly created with Wix.com

bottom of page