Kita adalah tiga kalimat tanpa jeda, dua kata tanpa spasi, dan satu frasa tanpa cerita.
Karena perasaan kita adalah kisah terpendam, sebuah rahasia hati yang mungkin akan seterusnya begitu.
"Dan."
"Iya, kenapa?"
"Gabut, nggak?”
"Iya. Kenapa? Mau ngajak main?”
"Iya, mau?”
"Mau, tapi jemput.”
"Yaudah, siap-siap aja. Aku otw.”
"Ya.”
Dalam hidup, kita akan sadar kalau sebenarnya diri kita serta perasaan kita selalu bisa saja dibolak-balik secara tidak menentu. Begitu pula dengan Danilla, puan yang tidak pernah menyadari tentang apa yang Ia rasakan dan selalu menjustifikasi perasaannya dibalik topeng persahabatan.
Oh, pria yang menghibungi ponsel milik Danilla tadi adalah sahabat akrabnya. Tidak sekali dua kali, mereka selalu dianggap sebagai sepasang kekasih. Tidak perlu pembenaran, mereka berdua menikmati tanggapan orang-orang di sekitar mereka itu.
Setelah pesan singkat dari sang tuan, Danilla bergegas untuk bersiap. Tidak peduli tujuan, Ia sudah terbiasa dengan perilaku sahabatnya satu itu yang selalu serba tiba-tiba. Tak menunggu lama, yang ditunggu pun segera muncul di halaman rumah dengan motor vespa kesayangannya itu, warnanya putih, diberi nama "Siput.” oleh yang empunya.
"Cepet banget."
"Yaudah, aku balik dulu?"
"Ih, ngapain.”
"Biar ngga kecepetan?”
"Yaudah, sekalian besok aja apa jalannya?”
"Hahaha, jangan dong. Yaudah, nih. Helm.”
"Oke.”
"Siap? Berangkat.”
"Mau kemana hari ini?’
"Kemana, ya? Taman yuk.”
"Hah, random banget? Ngapain?”
"Biar kayak anak indie.”
"Duileh, ngapain. Tapi yaudah, boleh.”
“Bener, ya. Meluncur beneran nih, yaa?”
"Iya, baweel.”
"Siap, Ibu Negara.”
Mereka menelusuri sepanjang jalan dengan penuh tawa. Persahabatan mereka yang cukup lama tidak menjadikan mereka kehabisan topik. Selalu saja ada yang mereka ceritakan. Sang tuan tak pernah gagal untuk membuat Danilla tersenyum. Lelucon yang dilontarkan, pertanyaan-pertanyaan aneh yang diberikan, selalu berhasil membuat Danilla tertawa. Mungkin ini alasan semua orang menyukai sang tuan– batin Danilla.
Hanyut dalam percakapan, membuat keduanya tak merasa telah sampai di tujuan. Sang tuan segera memarkirkan Siput– vespa kesayangannya itu di tempat yang paling aman.
"Neng, udah sampai, neng.”
"Oh, iya. Makasih, mang.”
"Bayarannya?”
"Nih– 3 ribu, kembaliannya untuk mamang beli permen aja.”
"Hahahaha, mana cukup, Dan.”
“Cukup. Eh, ayo ah keburu sore, ntar.”
"Gandeng, jangan?”
"Ngga ah, nanti gabisa lepas.”
"Iya juga, ya. Ntar ngga dikembaliin.”
"Dih ngawur banget.”
"Ntar hilang kalau ngga digandeng.”
"Modus bangeet.”
"Hahahaha, iya iya, engga.”
“Yuk, kesitu.”
"Kesitu?”
"Iya.”
Mereka langsung menuju kursi yang berada di pinggir taman, menikmati lingkungan yang disuguhkan oleh keadaan sekitar. Tak ramai orang kala itu, hanya ada beberapa anak kecil yang sedang bermain dan ada sepasang kekasih yang sedang memadu kasih. Tak banyak bicara, mereka fokus menikmati angin dan menatap langit yang ada. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sampai akhirnya, sang tuan mulai membuka obrolan.
"Dan. Lihat, deh.”
"Hmm?”
"Itu.” Sang tuan mengarahkan jari telunjuknya ke langit sebelum melanjutkan, "Kamu tau, kenapa aku suka banget sama langit?”
"Kenapa?"
"Langit itu indah..” Ia menarik nafas sebelum akhirnya melanjutkan kata-katanya, “Langit, selalu mengingatkan aku sama kamu, Dan.”
Danilla mencoba mencerma kalimat yang baru saja Ia dengar, Ia memfokuskan pandangannya kepada si pemilik suara.
“Langit itu selalu indah untuk dipandang, tapi bukan untuk dimiliki. Langit itu... terasa dekat, walau sebenarnya Ia jauh. Langit susah diprediksi... Walaupun begitu, langit tak pernah mengecewakan untuk dikagumi.”
Si pemilik suara menoleh ke perempuan di sampingnya sebelum melanjutkan kata-katanya, “Sama... Kayak kamu.” Ia mengakhiri kalimatnya dengan senyuman, senyuman yang selalu menghangatkan hati, senyuman yang selalu digemari oleh Danilla.
Danilla masih terjerat, terpaku dalam setiap kalimat yang Ia dengar, jantungnya terasa menggebu, logika tak lagi berjalan. Ia tak bisa berpikir jernih kala itu.
“Hah?”
Belum sempat Danilla merespon, sang tuan segera memotong, "Gimana, Dan? Udah Indie banget, ya?”
"Oh...I–iya..”, ada rasa kecewa disana.
“Kayaknya, Dan. Aku cocok kali ya jadi penulis gitu, hahaha.”
“Kamu mah, nulis tugas aja cocoknya. Eh, balik yuk.”
“Oh, iya. Ayuk.”
Mereka pun akhirnya kembali, dengan canggung diantara keduanya, lidah yang kelu, jalanan yang hanya dihiasi oleh kebisingan kota Jakarta kala itu, tanpa sepatah kata. Mereka hanya diam membisu, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Sampai saat itu, perasaan hanyalah sebatas ilusi. Tak tersampaikan, walaupun sebenarnya hampir. Mereka, dua orang sebatas hampir, yang tak berani memulai karena rasa takut.
Yang tidak pernah Danilla tahu, perkataan sang tuan tadi benar adanya, disampaikan dengan tulus. Bukan sekadar kata, melainkan perasaan– perasaan yang tertuang.
Sayangnya, Danilla tidak pernah tahu akan hal tersebut. Tentang perasaan sang tuan padanya. Tidak. Mungkin dia tahu, tapi lebih baik seperti ini, pikirnya.
Penulis : Nikita
Comments