“Happy valentines day, Sayang ... apa kamu bahagia di sana? Apa kamu merayakan hari kasih sayang ini dengan para malaikat di sana?”
Aksa menatap sendu nisan yang bertuliskan nama kekasihnya di sana, Sara Qanita. Sosok gadis yang sangat ia sayangi meski sudah pergi meninggalkan dunia sejak satu tahun yang lalu karena sebuah kecelakaan—tabrak lari.
“Ra ...,” Aksa tersenyum getir. “Kamu inget, gak? Kamu selalu bilang kita tuh udah kayak yang beneran jodoh karena nama kita kalau digabung jadi bagus banget. Aksara. Aksa dan Sara. Kita saling terikat, itu kata kamu, ‘kan?”
“Aku inget semuanya, Sa. Aku selalu inget dan gak akan pernah lupain semua itu.”
Aksa mematung. Ia terkejut. Jujur saat ini Aksa takut jika ia lagi-lagi berkhayal jika Sara ada di dekatnya. Jika Sara masih bersamanya. Tepukkan lembut yang sangat terasa samar itu menyentuh pundak kanannya.
Sara tersenyum, “Apa kabar, Sa? Udah lama gak lihat kamu.”
“Sara ...,” Aksa memanggil dengan suara tercekat.
“Iya, ini aku. Happy valentines day juga, Aksa. Aku bahagia di sana, Sa, tapi aku gak rayain valentine di sana,” Sara terkekeh. “Aku mau rayain sama kamu di sini meski sebentar.”
Aksa balas tersenyum seraya menunjuk buket bunga di atas pusara, “Aku kasih kamu bunga. Gak bisa kasih cokelat lagi kayak dulu. Aku bahagia banget bisa lihat kamu sekarang ini. Rasanya rindu aku terbayar, Ra.”
Sara tersenyum lalu mendekat pada Aksa. Tubuh tipisnya memeluk Aksa dengan kuat yang tentu saja hanya bisa Aksa rasakan dengan samar. Sara menangis. Aksa adalah lelaki baik yang sangat menyayanginya. Tapi kenapa Sara harus dipisahkan dengannya?
Kenapa Aksara harus dipisah, dipenggal menjadi dua kata terpisah?
“Kamu tahu aku selalu sayang sama kamu. Biarpun kamu sudah gak ada di dunia ini, kamu selalu ada di hati aku, dan hati semua orang yang sayang sama kamu,” bisik Aksa.
“Aku tahu, Sa. Makasih buat semuanya. Aku udah harus pergi lagi. Jaga diri kamu baik-baik, ya. Kamu harus bahagia,” ujar Sara yang kemudian sudah menghilang.
Aksa kembali menatap pusara Sara. Kali ini tidak dengan senyum getir, melainkan senyum tipis yang menunjukkan kebahagiaan.
“Iya, aku pasti akan bahagia.”
Penulis: Shelsa Aurelia
Comments